Dark Justice
Jumat, 12 November 2021 09:02 WIB
Hampir empat minggu yang lalu, sebuah video bocor ke masyarakat. Rekaman yang diambil menggunakan ponsel amatiran itu menunjukkan kegiatan seksual seorang yang ‘mirip’ dengan tokoh masyarakat terkenal dan seorang wanita panggilan kelas atas. Seperti efek domino, kami memperoleh banyak sekali informasi bahwa video tersebut hanyalah sebagian kecil dari transaksi haram lainnya meliputi perdagangan obat terlarang, human trafficking dan peredaran uang palsu. Semua bukti-bukti mengarah pada Bono Wiguna, pengusaha bertangan dingin yang memiliki saham di beberapa perusahaan raksasa Indonesia.
Aku baru saja meminum kurang dari setengah kopi hitam yang disajikan di kedai itu, saat ponselku berbunyi.
“Ed, lu di mana?” suara Jackson, sahabat sekaligus kolegaku terdengar di ujung sambungan.
“Tempat ngopi yang biasa.” Aku mencari-cari earphone yang seingatku ada di salah satu kantong ransel kanvasku. Mengobrol dengan Jackson minimal akan menghabiskan waktu 30 menit. Sebelum ia menutup telepon, telingaku pasti sudah panas bersentuhan dengan layar ponsel. Memakai earphone tentu lebih nyaman.
“Sini, cepetan! Gua dapet akses ke korban nomor lima!”
“Hah?”
“Kasus donatur panti, cepeeet!”
Aku menumpahkan semua barangku dari atas meja kecil ke dalam ranselku, meletakkan selembar uang lima puluh ribu di atas meja kemudian melesat menuju pintu keluar kedai kecil ini.
Sekitar empat puluh menit kemudian aku duduk di sebelah Jackson di sebuah kamar kosan sumpek. Aku masih berusaha menenangkan napasku setelah terburu-buru memacu motor matik dari ruas jalan utama Dago sampai ke pinggiran kota bagian timur ini.
Di hadapan kami duduk seorang wanita yang kuperkirakan berusia sekitar awal 30 tahun, atau akhir 20 tahun. Terkadang sangat sulit mengira-ngira usia perempuan ketika mereka memakai riasan wajah. Apalagi dalam kondisi sekarang ketika riasan di wajah perempuan itu berantakan. Jelas sekali ia habis menangis, sebab sebelah tangannya masih menggenggam sehelai tisu lepek yang penuh dengan warna kehitaman. Kukira itu berasal dari riasan matanya, yang sekarang meleber ke mana-mana. Membuatnya jadi mirip Joker versi Heath Ledger.
“Mbak, ini Edo partner saya. Kita mulai ngobrolnya ya? Edo nanti yang akan merekamnya.”
Wanita itu mengangguk, setelah sebelumnya membersihkan hidung dengan suara berisik. Sesaat aku memandangi tisu di tangannya yang sudah lebih buruk dari lepek. Super duper lepek.
***
Suara bantingan laporan pajak setebal lima sentimeter itu membuat semua orang yang ada di ruangan terlonjak. Aku tahu itu laporan pajak tahunan, sebab sudah sering melihatnya sebelum ini. Mungkin Pak Agus kebetulan sedang membacanya, atau karena ketebalannya, ia memutuskan untuk membantingnya. Entah yang mana yang betul, yang pasti pemredku Agus Sofyan asal Tasikmalaya itu sedang murka.
“Hapus artikel sialan itu, bikin permohonan maaf!
“Bos, denger dulu kami ini lah, Bos!” Jackson mendorong kedua telapak tangannya menghadap ke depan, seolah sedang menyetop laju kendaraan.
“Hapus!”
“Kami sudah susah payah melakukan investigasi, mengumpulkan bukti, macam mana lah Bos ini!”
“Kalau bersikeras, media kita bisa disomasi, dituntut ke pengadilan, dicabut izinnya, mau kau?” Sepasang mata Agus Sofyan seakan siap meloncat dari rongganya demi mendengar Jackson. Namanya yang sangat Sunda, asalnya yang juga tanah Sunda sama sekali tak mewakili temperamennya yang bahkan lebih galak dari Jackson Sagala, asal Sianjur Mula-mula Sumatera Utara.
Kugamit Jackson yang masih mengomel-ngomel ke luar ruangan. Setengah dariku sudah menyangka ini akan terjadi. Skandal yang sedang kami selidiki dan laporkan investigasinya dalam bentuk artikel melibatkan orang-orang penting dari mulai nggota DPR, pengacara kondang, petinggi militer dan masih banyak lagi. Di pucuk pimpinannya bertengger seorang penguasa tak kasatmata yang merajai bisnis di negeri ini. Bono Wiguna.
Kuambilkan segelas air dingin yang kusorongkan ke depan mulut Jackson.
“Berengsek! Macam mana bedebah itu menang dan lepas dari tuduhan, bangsaaat!”
Hampir empat minggu yang lalu, sebuah video bocor ke masyarakat. Rekaman yang diambil menggunakan ponsel amatiran itu menunjukkan kegiatan seksual seorang yang ‘mirip’ dengan tokoh masyarakat terkenal dan seorang wanita panggilan kelas atas. Seperti efek domino, kami memperoleh banyak sekali informasi bahwa video tersebut hanyalah sebagian kecil dari transaksi haram lainnya meliputi perdagangan obat terlarang, human trafficking dan peredaran uang palsu. Semua bukti-bukti mengarah pada Bono Wiguna, pengusaha bertangan dingin yang memiliki saham di beberapa perusahaan raksasa Indonesia.
“Semua orang juga sudah mengendus ke sana, ke si keparat itu!”
Kembali kudorong gelas berisi air tadi ke mulut Jackson, mencegahnya mengomel lebih panjang.
***
Kucek jam di pergelangan tangan kananku. Tengah malam sudah lewat sekian menit yang lalu. Aku mengawasi ke seluruh area, memastikan hanya bunyi jangkrik dan desau angin malam saja yang bisa kudengar. Aku meringkuk di balik rimbunan pohon yang menghalangi pandangan dari kamar-kamar di lantai dua ke halaman. Lagipula jarak dari bangunan ke pagar pembatas ini sekitar 70 meter, cukup jauh. Cukup untuk mendirikan lima rumah tipe 21, timpalku dalam hati.
Suara salak anjing tak lagi terdengar, padahal pemilik rumah ini memiliki tujuh ekor Siberian Husky setinggi setengah paha orang dewasa. Orang biasanya akan terkesima melihat penampakan mereka yang memang gagah, sebelum akhirnya sadar bahwa mereka dilatih untuk berburu. Aku kembali menajamkan pendengaranku. Tak terdengar apa pun kecuali suara serangga dan bunyi ketukan langkah para penjaga yang ditempatkan di berbagai sudut rumah. Tak sia-sia aku membawa lima kilogram daging segar yang sudah kusuntikan obat bius itu ke sini. Tujuh Husky gagah itu kemungkinan sedang tertidur di beberapa area halaman rumah.
Aku mulai berdiri dan melangkah memutar. Tujuanku menghindari CCTV yang dipasang tepat di dekat batang pohon tadi. Kukeluarkan cat semprot hitam dari tas ranselku dan perlahan kusemprotkan ke layarnya. Setidaknya itu akan membuat layar CCTV takkan terlalu jelas menampilkan gambar.
Aku menaiki pagar setinggi dua meter itu dengan lincah. Ini mudah saja bagiku yang sejak kecil sudah dilatih bela diri, menembak, berkuda dan berburu di hutan. Untung saja si pemilik rumah tak mengalirkan arus listrik ke pagar rumah ini, sebab aku takkan berdaya melewatinya.
Tiga orang penjaga di pintu samping berhasil kulumpuhkan tanpa menimbulkan banyak suara. Mereka semua tumbang dengan sebatang panah pendek menancap di pembuluh darah leher. Panah hanya sepanjang 10 sentimeter yang kulemparkan itu sudah kuolesi dengan ekstrak Curare yang berkhasiat melumpuhkan. Tidak membunuh, hanya membuat para penjaga tertidur pulas. Bagaimanapun aku bukan pembunuh.
Aku masuk lewat pintu samping sebab dari sana akses menuju kamar utama lebih dekat. Aku tak mau membuang energi berhadapan dengan sekompi penjaga yang ditempatkan tepat di depan pintu. Tujuanku hanya satu orang saja.
Seorang pelayan yang tiba-tiba keluar dari pantry hampir membuatku ketahuan, jika aku tidak serta merta bersembunyi di balik lemari pajang berisi koleksi senjata kepunyaan pemilik rumah. Sekian detik aku meringkuk lagi sambil menunggu suara langkah kaki si pelayan menjauh.
Lelaki itu kutemukan sedang tertidur pulas di atas ranjangnya yang besar berkanopi. Kali ini ia sendiri padahal seingatku selalu ada satu atau dua wanita yang menemaninya. Aku mengatupkan rahang menahan emosi. Sekian tahun berlalu, dan aku masih membencinya, setiap inci dari dirinya.
Tanganku menggenggam Ontario MK 3 sepanjang enam inci yang kemudian kulepas dari sarungnya. Belati khusus untuk pertarungan jarak dekat itu kutempelkan di lehernya yang bebas.
Bono Wiguna sedang tertidur pulas di hadapanku, di bawah ancaman belatiku.
Tepat seperti dugaanku, kedua matanya tak lama membuka. Seulas senyuman licik tergambar di wajahnya.
“Edo ….”
Aku benci caranya memanggil namaku, juga caranya menatapku. Seolah aku masih anak berusia tujuh tahun yang babak belur setelah ia paksa berlatih tinju di bawah bimbingan pelatih professional.
“Butuh alasan kuat untukmu datang ke mari.”
“Diam kau!” Kutempelkan lebih dekat lagi belatiku ke lehernya. Ia mulai terbatuk-batuk, sebab lengan kiriku kutekankan pula ke dadanya, mengirimkan sekian persen dari berat tubuhku.
“Hi-hi-hi. Ada apa ini? Kasus video kemarin kah? Hi-hi-hi.”
“Selalu itu kau! Kau dan bisnismu yang kotor, menjijikkan! Bangsat!”
“Kau selalu lupa. Uangku yang membuatmu bisa berdiri di sini. Uangku yang telah membuat kau pintar, lulusan Amerika! Ha-ha-ha …. “ Kali ini gema tawanya membuatku risau, sebab bisa memancing para penjaga dan pelayan untuk datang.
Aku sekarang naik ke tempat tidur, mengangkanginya, mendudukkan tubuhku di atas perutnya. Tekanan belatiku semakin kencang. Ia terbatuk-batuk lagi.
“Ka-kau … mau memb … ugh bunuhku, Edo?”
Terakhir kali aku memasuki kamarnya, ia menodongkan Glock Meyer 22 berperedam di kepalaku. Aku tahu ia selalu menyimpan sepucuk pistol di balik bantal yang ia tiduri. Ke mana sekarang? Mengapa ia tak menggunakannya?
“Kau mencari pistolku? Hi-hi.”
“Diam! Bersiaplah untuk mati, bajingan!”
Ia tersenyum kembali. “Untuk alasan apa aku pantas mati kali ini, Edo? Untuk kerajaan bisnis haramku? Untuk kematian ibumu? Atau karirmu sebagai jurnalis mandek?”
“Oh, aku lupa. Barangkali karena Rosalie-mu yang sungguh berharga itu hi-hi ….”
Kuhantam sisi wajahnya menggunakan tangan kiriku yang tidak memegang senjata. Darah langsung mengucur dari sudut bibirnya. Kulayangkan sekali lagi tinjuku sekuat tenaga. Kuharap rahangmu patah sekalian!
Dari lorong kamar kudengar suara orang berlari. Entah apa yang membuat mereka sadar bahwa seorang penyusup telah datang ke rumah ini. Apakah anjing-anjing sialan itu sudah ditemukan atau suara bajingan yang sedang kutodong ini begitu keras. Mana pun, aku tak peduli.
“Stop! Angkat tangan!”
Tanpa menoleh pun aku tahu sudah ada sedikitnya tujuh sampai delapan penjaga yang mengepungku. Jumlah yang sedikit, mengingat ia biasanya punya lebih dari dua lusin penjaga.
Aku tak punya banyak waktu.
“Bono Wiguna!” Teriakku lantang. “Kau bisa bebas dari hukum, tapi kau takkan pernah bebas dariku!”
Kujambak puncak kepalanya dan kuayunkan belatiku ke urat nadi di leher. Saat ayunanku berhenti, semburan darah menggelegak membasahi bagian depan jaket hitamku. Seseorang menjerit, mungkin salah satu pelayan perempuan.
Suara letusan terdengar dan kurasakan bahuku tiba-tiba kebas. Letusan kedua membuat tanganku mati rasa. Entah letusan ke berapa yang akhirnya merobohkan posisiku dan membuatku terguling ke lantai.
Aku sulit bernapas, tenggorokanku rasanya penuh dengan gumpalan. Aku menatap langit-langit kamar yang dihiasi kaca transparan bergaya rose window. Susah payah aku berusaha bernapas sebab kusadari sekarang aku tersedak gumpalan darahku sendiri.
Aku ingin mengatakan pada mereka bahwa lelaki di atas tempat tidur itu orang yang membesarkanku sekaligus menghancurkanku. Penjahat yang berkedok pebisnis sukses itu pernah kucintai sekaligus kubenci.
“Aku sudah pernah bilang padamu, carilah gadis lain ha-ha-ha.” Aku terpekur di samping tubuh Rosalie yang mulai dingin. Airmataku bercampur lelehan darah dari sudut bibirku setelah ia hantam menggunakan tongkat baseball. Aku terisak sekaligus meraung, menatap gadisku nanar sambil memelototi bajingan yang sedang terbahak itu.
“Gadis lain, Edo. Gadis dari keluarga terhormat, bukan dia. Bukan jenis yang bisa kujual menjadi pelacur gratisan untuk para penjagaku, ha-ha-ha.”
Langit-langit kamar mulai memudar, beberapa pasang tangan kurasakan memegangi tubuhku. Kubayangkan Jackson yang pasti akan kaget ketika besok aku tak muncul di ruang redaksi. Kubayangkan Agus Sofyan yang galak itu ikut terkejut ketika mengetahui aku anak bajingan itu.
Kubayangkan ibuku yang dulu sempat bertahan sampai akhirnya menyerah pada pil-pil yang ia telan sebelum tidur. Terakhir kubayangkan wajah Rosalie yang cantik dengan rambut ikalnya dan senyumnya yang merekah seperti awal musim semi.
Gelap.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Ares di Ambang Kiamat
Senin, 15 November 2021 08:34 WIBMy Imagination
Senin, 15 November 2021 08:28 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler